PENGERTIAN DAN HUBUNGAN HUKUM DENGAN MASYARAKAT

Hukum merupakan peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang pada dasarnya berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang harus ditaati dalam kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat  ialah sekelompok orang tertentu yang mendiami suatu daerah atau wilayah tertentu dan tunduk pada peratran hukum tertentu pula.
Hubungan antara hukum dan masyarakat sangat erat dan tak mungkin dapat diceraipisahkan antara satu sama lain, menginga bahwa dasar hubungan tersebut terletak dalam kenyataan-kenyataan  berikut ini.


a. Hukum adalah pengatur kehidupan masyarakat.
Kehidupan masyarakat tidak mungkin bisa teratur kalau tidak ada hukum.
b. Masyarakat merupakan wadah atau tempat bagi berlakunya suatu hukum. Tidak mungkin ada atau berlakunya suatu hukum kalau masyarakatnya tidak ada.
Jadi, dari kedua pernyataan di atas ini sudah dapat dibuktikan, dimana ada hukum di situ pasti ada masyarakat dan demikian pula sebaliknya, dimana dad masyarakat disitu tentu ada hukumnya.
c. Disamping itu, tak dapat disangkal adanya kenyataan bahwa hukum juga merupakan salah satu sarana utama bagi manusia melalui masyarakat di mana ia menjadi warga atau anggotanya, untuk memenuhi segala keperluan pokok hidupnya dalam keadaan yang sebaik dan sewajar mungkin, mengingat hukum itu pada hakikatnya:
1). Memberikan perlindungan (proteksi) atas hak-hak setiap orang secara wajar, disamping juga menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya sehubungan dengan haknya tersebut.
2). Memberikan juga pembatasan (restriksi) atas hak-hak seseorang pada batas yang maksimal agar tidak mengganggu atau merugikan hak orang lain, disamping juga menetapkan batas-batas minimal kewajiban yang harus dipenuhinya demi wajarnya hak orang lain.
Jadi, jelaslah bahwa huum itu bukan hanya menjamin keamanan dan kebebasan, tatapi juga ketertiban dan keadilan bagi setiap orang dalam berusaha untuk memenuhi segala keperluan hidupnya dengan wajar dan layak.
Last Updated (Sunday, 01 August 2010 04:42)
Sumber : http://www.pendekarhukum .com
Faktor-faktor yang mempngaruhi berlakunya hukum dalam masyarakat, sehingga hukum tersebut berlaku efektif atau tidak. berikut hal-hal yang mempengaruhi berlakunya hukum dalam masyarakat :
1. Kaidah Hukum
didalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan antara tiga macam hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah, hal itu diungkapkan sebagai berikut :
  • kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
  • kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. artinya, kaidah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat;
  • kaidah hukum berlaku secara filosofis, sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
2. Penegak Hukum
Penegak hukum atau orang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas. sebab, menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. artinya, dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum, petugas seharusnya harus memiliki suatu pedoman diantaranya peraturan tertulis tertentu yang menyangkut ruang lingkup tugas-tugasnya.
3. Sarana/ Fasilitas
Fasilitas/sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. ruang lingkup sarana dimaksud, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta mesin tik yang cukup baik, bagaimana tugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. kalau peralatan yang dimaksud sudah ada, maka faktor-faktor pemeliharaannya juga sangat penting.
4. Warga Masyarakat
salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. warga masyarakat dimaksud, adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, derajat kepatuhan. secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyrakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.
Diterbitkan di: 14 Juli2010   

“Akses pada keadilan merupakan hal yang patut bagi sebuah Negara demokrasi seperti Indonesia, dan pencapaian tujuan tersebut tidak hanya melalui reformasi sistem hukum peradilan formal tapi juga termasuk pemberdayaan hukum bagi perempuan dan masyarakat miskin” demikian ungkapan Hirsch Ballin, Menteri Keadilan Belanda dalam pidato singkatnya di depan para kader hukum, pendamping lapangan program pemberdayaan hukum perempuan (Women Legal Empowerment – WLE), paralegal dan fasilitator posko program pemberdayaan hukum masyarakat (Revitalization of Legal Aid – RLA) bersama masyarakat se-Jawa Barat dan warga sekitar Desa Sukanagalih beserta jajaran pemerintah Cianjur yang dipimpin wakil Bupati Cianjur, DR.Dadang Sufianto, Rabu 25 Februari 2009 yang lalu.
Harapan Hirsch Ballin tidaklah berlebihan, mayoritas penerima manfaat program pemberdayaan hukum perempuan (WLE) dan pemberdayaan hukum Berbasis Masyarakat (RLA) yang di sponsori oleh Justice for the Poor, Bank Dunia dengan dukungan pemerintah Belanda mengamini hal tersebut. Imas, salah satu penerima manfaat program WLE misalnya mengungkapkan bahwa sejak dirinya terlibat dalam program WLE, selain membangun kepercayaan diri dirinya selaku korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), bersama dengan kelompok Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) lainnya, Imas kini memiliki akses dan pengetahuan yang memadai mengenai tata cara berperkara di pengadilan agama.“Kini saya bisa membantu ibu-ibu lain yang mengalami hal yang sama untuk maju ke pengadilan agama” ujarnya di depan rombongan menteri keadilan belanda yang sebelumnya telah berkunjung ke Diklat Mahkamah Agung di Ciawi.
Keinginan para perempuan kepala keluarga (PEKKA) untuk memiliki akses yang lebih luas pada keadilan, kini di dukung penuh oleh Pemda Kabupaten Cianjur dengan memfasilitasi Multi Stakeholder Forum (MSF) yang merupakan perwakilan Pengadilan agama, Pemerintah Kabupaten Cianjur dan Instansi terkait, untuk mempermudah akses para perempuan khususnya maupun masyarakat kelompok miskin dalam mengakses keadilan. Bahkan, pemerintah Kabupaten Cianjur telah mengambil inisiatif untuk mengembangkan wilayah program WLE tersebut ke kecamatan lain dengan pembiayaan yang sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah Kabupaten Cianjur sendiri.
Sri, salah seorang Fasiltator menyatakan
bahwa sejak keberadaan posko bantuan
hukum di daerah Cibinong, Bogor, para
buruh telah mampu melakukan advokasi
mandiri atas kasus-kasus yang mereka
alami.
Hal yang sama dirasakan oleh para penerima manfaat dan para Fasilitator Posko (Fasko) Bantuan Hukum berbasis masyarakat (RLA) dari sektor buruh. Sri,salah seorang Fasko menyatakan bahwa sejak keberadaan posko bantuan hukum di daerah industry Cibinong, Bogor, para buruh telah mampu melakukan advokasi mandiri atas kasus-kasus yang mereka alami. Akesibilitas posko yang tepat berada di komunitas buruh sendiri, pendidikan dan pelatihan hukum dan advokasi yang disediakan oleh program RLA, serta pendampingan oleh pengacarayang mendampingi mereka, tidak saja berhasil membangun kesadaran para buruh atas hak-hak mereka tapi juga kemampuan untuk melakukan advokasi, terlibat dalam legislasi perburuhan di level lokal, bahkan memunculkan keberanian para buruh untuk mengambil posisi dalam Pemilihan legislative mendatang.“Saya sendiri bahkan mencalonkan diri untuk menjadi caleg bagi DPRD Bogor” ucap Sri Mantap.
Dukungan dari Menteri Keadilan Belanda dan keyakinan yang besar dari para penerima manfaat program WLE dan RLA bahwa program ini harus lebih diperluas, mendapat respon yang sangat baik dari perwakilan pemerintah yang juga hadir dalam kunjungan tersebut. Direktur HAM dan hukum Bappenas, Diani Sadia Wati menyatakan bahwa pihaknya bersama dengan elemen masyarakat terkait tengah menggodok strategi nasional akses pada keadilan (stranas akses pada keadilan).“Strategi ini akan menjadi bahan bagi pemerintah dan legislatif dalam menyusun Rencana Pembanunan Jangka Menengah (RPJM)” ungkapnya sewaktu menutup acara kunjungan Menteri keadilan belanda tersebut.“Strategi ini bukan hanya menyasar reformasi  sektor peradilan semata namun juga mencakup keharusan melakukan pemberdayaan hukum bagi perempuan dan masyarakat miskin” katanya lagi. Hal ini diamini oleh H.Ballin.“Kita tidak akan pernah bisa berhenti dan kita akan selau berada di garis depan agar semua masyarakat, siapapun dia bisa memperoleh keadilan” tutup sang menteri seiring dengan iringan angklung yang mengantarnya kembali ke Jakarta.
Hokum merubah masyarakat
Hukum mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Suatu perubahan social yang dikehendaki atau direncanakan, selalu berada di bawah pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan system yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, dinamakan social engineering atau social planning. Hokum mepunyai pengaruh langsung atau pengaruh yang tidak langsung di dalam mendorong terjadinya perubahan social. Misalnya, suatu peraturan yang menentukan system pendidikan tertentu bagi warga Negara mepunyai pengaruh secara tidak langsung yang sangat penting bagi terjadinya perubahan-perubahan social.
Di dalam berbagai hal, hokum mempunyai pengaruh yang langsung terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan yang artinya adalah bahwa terdapat hubungan yang langsung antara hokum dengan perubahan-perubahan social. Suatu kaidah hokum yang menetapkan bahwa janda dan anak-anak tanpa memperhatikan jenisnya dapat menjadi ahliwaris mempunyai pengaruh langsung terhadapat terjadinya perubahan-perubahan social, sebab tujuan utamanya adalah untuk mengubah pola-pola perikelakuan dan hubungan-hubungan antara warga masyarakat.
Pengalaman-pengalaman di Negara-negara lain dapat membuktikan bahwa hokum, sebagiamana halnya dengan bidang-bidang kehidupan lainnya dipergunakan sebagai alat untuk mengadakan perubahan social. Misalnya di Tunisia, maka sejak diperlakukannya Code of Personal Status pada tahun 1957, seorang wanita yang telah dewasa, mempunyai kemampuan hokum untuk menikah tanpa harus di dampingi oleh seorang wali.
Kiranya dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hokum sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan-perubahan yang dikehendaki atau perubahan-perubahan yang direncanakan. Dengan perubahan-perubahan yang dikehendaki dan direncanakan dimaksudkan sebagai suatu perubahan yang dikehendaki dan direncanakan oleh warga masyarakat yang berperan sebagai pelopor masyarakat. Dan dalam masyarakat yang sudah kompleks di mana birokrasi memegang peranan penting tindakan-tindakan social, mau tak mau harus mempunyai dasar hokum untuk sahnya. Oleh sebab itu, apabila pemerintah ingin membentuk badan-badan yang berfungsi untuk mengubah masyarakat (secara Terencana), maka hokum diperlukan untuk membentuk badan tadi serta untuk menentukan dan membatasi kekuasaannya. Dalam hal ini kaidah hokum mendorong terjadinya perubahan-perubahan social dengan membentuk badan-badan yang secara langsung berpengaruh terhadap perkembangan-perkembangan di bidang-bidang social, ekonomi, dan politik.
• Hukum sebagai sarana pengatur perikelakuan.
Sebagai social engineering, hokum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga masayrakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah di tetapkan sebelumnya. Kalau hokum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hokum sebagai sarana saja. Selain pengetahuan yang manatap tentang sifat hakikat hokum, juga perlu diketahui adalah batas-batas di dalam penggunaan hokum sebagai sarana (untuk mengubah ataupun mengatur perikelakuan warga masyarakat).
Suatu contoh misalnya, perihal komunikasi hokum. Kiranya sudah jelas, supaya hokum benar-benar dapat mempengaruhi perikelakuan warga masyarakat, maka hokum tadi harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarakat bagi penyebaran serta pelembagaan hokum. Komunikasi hokum dapat dilakukan secara formal, yaitu melalui suatu tata cara yang terorganisasikan dengan resmi. Di samping itu, ada juga tata cara informal yang tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hokum sebagai sarana pengubah dan pengatur perikelakuan. Ini lah yang dinamakan difusi.
Masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok, yang di dalam kehidupannya berkaitan secara langsung dengan penentuan pilihan terhadap apa yang ada di dalam lingkungan sekitarnya. Pilihan-pilihan yang dapat dilakukan, dibatasi oleh suatu kerangkan tertentu. Artinya, kalau dia sampai melampaui batas-batas yang ada, maka mungkin dia menderita; sebaliknya, kalau dia tetap berada di dalam batas-batas tertentu, maka dia akan mendapat imbalan-imbalan tertentu pula.
Apakah yang akan dipilih oleh pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok, tergantung pada factor-faktor fisik, psikologis, dan social. Di dalam suatu masyarakat di mana interaksi social menjadi intinya, maka perikelakuan yang diharapkan dari pihak-pihak lain, merupakan hal yang sangat menentukan. Akan tetapi, walaupun manusia selalu memilih, ada kecenderungan bahwa dia mengadakan pilihan-pilihan yang sama, secara berulang-ulang atau teratur. Hal ini disebabkan oleh karena manusia pribadi tadi menduduki posisi-posisi tertentu dalam masyarakat dan peranannya pada posisi tersebut ditentukan oleh kaidah-kaidah tertentu. Selain daripada itu, peranannya huga tergantung dan ditentukan oleh berperannya pihak-pihak lain di dalam posisinya masing-masing. Selanjutnya, hal itu juga dibatasi oleh pihak-pihak yang mengawasi dan memberikan reaksi terhadap peranannya, maupun kemampuan serta kepribadian manusia. Pribadi-pribadi yang memilih, melakukan hal itu, oleh karena dia percaya bahwa dia menghayati perikelakuan yang diharapkan dari pihak-pihak lain, dan bagaimana reaksi pihak-pihak lain terhadap perikelakuannya. Oleh karena itu, untuk menjelaskan mengapa seseorang menentukan pilihan-pilihan tertentu, maka harus pula dipertimbangkan anggapan-anggapan tentang apa yang harus dilakukannya atau tidak harus dilakukan maupun anggapan tentang yang harus dilakukan oleh lingkungannya. Inilah yang merupakan struktur normative yang terdapat pada diri pribadi manusia, yang sekaligus merupakan potensi di dalam dirinya, untuk dapat mengubah perikelakuannya, melaui perubahan-perubahan terencana di dalam wujud penggunaan kaidah-kaidah hokum sebagai sarana. Dengan demikian, maka pokok di dalam proses purabahan perikelakuan melaui kaidah-kaidah hokum adalah konsepsi-konsepsi tentang kaidah, peranan dan sarana maupun cara untuk mengusahakan adanya konformitas.
Pribadi yang mempunyai peranan dinamakan pemegang peranan (role occupant) dan perikelakuannya adalah berperannya pemegang peranan tadi, dapat sesuai atau mungkin berlawanan dengan yang ditentukan di dalam kaidah-kaidah. Konsepsi sosiologis tersebut mungkin akan lebih jelas bagi kalangan hokum, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa hokum. Pemegang peranan adalah subyek hokum, sedangkan peranan merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan hokum.
Posted by brainsays at 00:37

HUKUM DAN PERUBAHAN MASYARAKAT

Posted: 16 June 2010 by iwanvictorleonardo in HUKUM
MAKALAH
MATA KULIAH SOSIOLOGI HUKUM
HUKUM DAN PERUBAHAN MASYARAKAT
  1. Pendahuluan
Salah satu fitrah manusia yang membedakannya dari mahluk lain adalah keinginannya untuk selalu berubah. Perubahan tersebut terwujud dalam berbagai bentuk tergantung dari situasi dan kondisi yang mempengaruhinya. Suatu hal yang harus diterima adalah apapun bentuk perubahan yang terjadi, pada dasarnya manusia berkeinginan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.
Perubahan kehidupan yang dilalui manusia pada dasarnya disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang muncul dari dalam diri, sedangkan faktor eksternal muncul dari luar diri manusia itu sendiri. Kedua faktor tersebut secara simultan berpengaruh terhadap perubahan yang terjadi dalam diri manusia.
Manusia sebagai homo socius, dalam kehidupannya tidak terlepas dari interaksi dengan manusia lain. Dalam proses interaksi tersebut, sering terjadi benturan kepentingan atau kebutuhan. Kepentingan antara individu yang satu dengan yang lain kadang-kadang bersamaan seperti dalam tugas menjaga keselamatan dari berbagai gangguan. Ada kepentingan yang saling sesuai dan saling mengisi, dan ada pula yang bertentangan satu dengan yang lain. Seluruh kepentingan tersebut haruslah ditentukan batas-batasnya dan dilindungi. Membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam pergaulan antar manusia, merupakan tugas hukum[1]. Kecendrungan manusia untuk saling berinteraksi lambat laun melahirkan suatu kelompok masyarakat.
Kelompok masyarakat berkembang dari bentuk yang sederhana sampai dengan yang kompleks. Bersamaan dengan itu, timbullah hukum dalam masyarakat, mulai dari yang sederhana sampai pada saatnya menjadi semakin rumit. Corak kehidupan masyarakat diikuti oleh corak hukum yang berlaku pada masyarakat tersebut. Dalam perkembangannya saling pengaruh mempengaruhi[2]. Setiap kelompok masyarakat selalu ada permasalahan sebagai akibat perbedaan antara yang ideal dan aktual, antara yang standar dan yang praktis. Standar dan nilai-nilai kelompok dalam masyarakat mempunyai variasi sebagai faktor yang menentukan tingkah laku individu. Penyimpangan nilai yang ideal dalam masyarakat seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan menimbulkan persoalan dalam masyarakat. Dalam situasi demikian, kelompok berhadapan dengan problema untuk menjamin ketertiban bila kelompok tersebut ingin mempertahankan eksistensinya[3].
B. Pembahasan
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat disebabkan berbagai faktor. Faktor tersebut dapat berasal dari masyarakat itu sendiri (internal) maupun dari luar masyarakat tersebut (eksternal). Faktor-faktor internal dapat berupa pertambahan penduduk, penemuan baru, pertentangan, atau mungkin terjadinya revolusi. Selanjutnya faktor eksternal dapat berupa sebab-sebab lingkungan fisik, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, perang dan sebagainya. Berkenaan dengan hal ini, Soerjono Soekanto menyatakan:
Suatu perubahan sosial lebih mudah terjadi apabila suatu masyarakat sering              mengadakan kontak dengan masyarakat lain atau telah mempunyai pendidikan yang lebih maju. Sistem lapisan sosial yang terbuka, penduduk        yang heterogen serta   ketidakpuasan masyarakat teerhadap bidang             kehidupan tertentu, dapat pula memperlancar terjadinya perubahan        sosial, sudah tentu disamping faktor-faktor yang       dapat memperlancar terjadinya perubahan sosial, dapat juga diketemukan faktor yang      menghambatnya seperti:
  • sikap masyarakat yang mengagungkan masa lampau             (tradisionalisme),
  • adanya  kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan      kuat (vestedinterest),
    • prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing,      hambatan-hambatan    yang bersifat ideologis, dan seterusnya. Faktor-      faktor di atas sangat mempengaruhi terjadinya perubahan sosial serta prosesnya.[4]
Menurut Pound sebagaimana dikutip Ali, bila hukum merupakan suatu social control dan sekaligus menjadi agent of social change, maka hukum memuat prinsip, konsep dan aturan, standar tingkah laku, doktrin, etika profesi, serta semua yang dilakoni individu dalam usaha memuaskan kebutuhan dan kepentingannya. Pound mengemukakan bahwa agar hukum dapat dijadikan sebagai agen perubahan sosial (agent of social change), maka pendapatnya dikuatkan oleh William James yang menyatakan bahwa di tengah-tengah dunia yang terbatas dengan kebutuhan manusia yang sellau berkembang, maka dunia tidak akan pernah dapat memuaskan kebutuhan manusia. Untuk itu dituntut peran peraturan hukum (legal order) untuk mengarahkan keterbatasan tersebut[5]. Hukum sebagai social engginering berkaitan dengan fungsi dan keberadaan hukum sebagai penggerak dan pengatur perubahan masyarakat, maka interpretasi analogi pound mengemukakan “hak” yang bagaimanakan dapat dituntut oleh individu dalam masyarakat. Pound selanjutnya mengemukakan bahwa yang merupakan hak itu adalah kepentingan atau tuntutan yang diakui, diharuskan, dan dibolehkan secara hukum, sehingga tercapai suatu keseimbangan dan terwujudnya apa yang dimaksud dengan ketertiban umum[6].
Penggunaan hukum secara sadar untuk mengubah masyarakat disebut social engginering by law . Langkah yang diambil dalam social engginering bersifat sistematis mulai dari identifikasi problem sampai kepada pemecahannya, yaitu:
(1)Mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya, termasuk mengenali dengan seksama masyarakat yang hendak menjadi sasarannya;
2)Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat karena kondisi masyarakat yang majemuk. Pada tahap ini ditentukan nilai sektor mana yang hendak dipilih;
3)Membuat hipotesa dan memilih mana yang layak untuk digunakan;
4)Mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efeknya[7].
Penggunaan hukum untuk melakukan perubahan dalam masyarakat berhubungan erat dengan konsep penyelenggaraan kehidupan sosial ekonomi dalam masyarakat. Apabila orang berpendapat, bahwa proses sosial ekonomi itu hendaknya dibiarkan berjalan menurut hukum-hukum kemasyarakatan sendiri, maka hukum tidak digunakan sebagai instrumen perubahan yang demikian itu. Apabila konsepnya kebalikan dari hal itu, maka peranan hukum berkaitan erat dengan konsep perkembangan masyarakat yang didasarkan pada perencanaan[8].
Pemikiran hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat yang dikemukakan Pound (1954), jika disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia dapat dikutip pendapat Mochtar Kusumaatmaja sebagai berikut :
”konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat          Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada         Amerika Serikat. Alasannya karena lebih menonjolnya          perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia (walaupun yurispredensi memegang peranan) dan ditolaknya aplikasi mekanisme dari konsepsi tersebut yang   digambarkan akan mengakibatkan hasil yang sama dari       penerapan faham legalisme yang banyak ditentang di Indonesia”[9].
Hukum yang digunakan sebagai sarana pembaharuan dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau keduanya. Seperti dikemukakan di atas, di Indonesia yang paling menonjol adalah Perundang-undangan, sedangkan yurisprudensi tidak begitu berperanan.
Agar dalam pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk pembaharuan dapat berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-undangan tersebut dibentuk sesuai dengan inti pemikiran aliran Sociological Jurisprudence, yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang ada dalam masyarakat. Jadi hukum mencerminkan nilai-nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat. Jika ternyata sebaliknya, maka ketentuan tersebut tidak akan dapat dilaksanakan atau bekerja dan akan mendapatkan tantangan-tantangan. Beberapa contoh perundang-undangan yang berfungsi sebagai sarana pembaharuan dalam arti mengubah mental masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern misalnya larangan memakai koteka di Irian Jaya, larangan pengayauan di Kalimantan, keharusan membuat sertifikat tanah, hukum dagang, serta hukum perdata lainnya yang bukan hukum perdata keluarga yang masih dianggap sensitif[10].
Terdapat kaitan yang erat antara hukum dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Jika dikaitkan dengan Indonesia, saat ini sedang terjadi perubahan nilai-nilai dalam masyarakat dari nilai-nilai tradisional menuju nilai-nilai modern. Namun demikian, masih menjadi persoalan nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan nilai-nilai baru manakah yang akan menggantikannya. Sudah barang tentu dalam proses perubahan ini akan menghadapi tantangan yang akan menimbulkan keresahan dalam masyarakat[11].
Mochtar Kusumaatmaja mengemukakan beberapa hambatan utama seperti jika yang diubah itu identik dengan kepribadian nasional, sikap golongan intelektual dan pimpinan masyarakat yang tidak mempraktekkan nilai-nilai yang dianjurkan disamping sifat heterogenitas bangsa indonesia, yang baik tingkat kemajuannya, agama serta bahasanya berbeda satu dengan lainnya[12].
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan hukum atau sebaliknya tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur lainnya dalam masyarakat atau mungkin sebaliknya. Bila terjadi hal demikian, maka muncul suatu Social Lag, yaitu suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan. Tertinggalnya perkembangan hukum oleh unsur lainnya atau sebaliknya terjadi karena perbedaan pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah hukum dengan pola perikelakuan yang diharapkan kaidah sosial lainnya. Hal ini disebabkan karena hukum pada hakikatnya disusun oleh sebagian kecil dari masyarakat yang pada suatu ketika mempunyai kekuasaan dan wewenang. Walaupun mereka dianggap mewakili masyarakat, tidak mungkin mereka mampu menyerap seluruh kepentingan masyarakat. Tertinggalnya hukum dari unsur sosial lain terjadi apabila hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada suatu ketika[13].
Pada prinsipnya kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan yang dikehendaki atau direncanakan (intended change atau planed change). Dengan perubahan yang direncanakan dan dikehendaki tersebut dimaksudkan sebagai perubahan yang dikehendaki dan direncanakan oleh warga masyarakat yang berperan sebagai pelopor. Dalam masyarakat yang kompleks di mana birokrasi memegang perana penting dalam tindakan sosial, mau tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk sahnya. Dalam hal ini, maka hukum dapat menjadi alat ampuh untuk mengadakan perubahan sosial, walaupun secara tidak Langsung[14].
Selanjutnya sehubungan dengan perubahan ini, hukum juga bertujuan mengubah perikelakuan masyarakat. Satu masalah yang muncul seperti dikemukakan oleh Gunnar Myrdal yakni softdevelopment dimana hukum tertentu ternyata tidak efektif. Gejala ini terjadi karena beberapa faktor seperti pembentuk hukum, penegak hukum, pencari keadilan dan lainnya. oleh karena itu, selain mencapai tujuan, perlu dirumuskan sarana untuk mencapai tujuan tersebut.
Akhirnya Soerjono Soekanto[15] mengemukakan ada 4 kaidah hukum yang bertujuan mengubah perikelakuan masyarakat yakni:
  • Melakukan imbalan secara psikologis bagi pemegang peranan yang patuh maupun pelanggar kaidah hukum
  • Merumuskan tugas-tugas penegak hukum untuk bertindak sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan serasi-tidakserasinya perikelakuan pemegang peranan dengan kaidah hukum
  • Mengubah perikelakuan pihak ketiga, yang dapat mempengaruhi perikelakuan pemegang peranan yang mengadakan interaksi
  • • Mengusahakan perubahan persepsi, sikap, dan nilai-nilai pemegang peranan
Langkah di atas hanya merupakan suatu model yang tentunya memiliki banyak kelemahan. Akan tetapi dengan model tersebut, setidaknya dapat diidentifikasi masalah yang berkaitan dengan tidak efektifnya sistem hukum tertentu dalam mengubah dan mengatur perikelakuan masyarakat.
C. Penutup
Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum dan perubahan sosial masyarakat merupakan dua aspek yang saling terkait dan berinteraksi. Disatu sisi, hukum dapat merubah nilai-nilai yang dianut masyarakat dan di sisi lain, masyarakat memerlukan hukum untuk dapat mengatur kehidupannya yang kompleks. Hukum yang disusun tanpa memperhatikan nilai sosial dalam masyarakat, pada akhirnya tidak efektif untuk menimbulkan perubahan sebagaimana yang diharapkan. Demikian juga halnya, penyusunan hukum yang hanya berorientasi tujuan tanpa memperhatikan sarana yang diperlukannya tidak akan efektif menimbulkan perubahan. Khusus untuk Indonesia, saat ini terjadi proses transformasi dari nilai-nilai tradisional menuju nilai-nilai modern, walaupun masih ada keraguan untuk menentukan nilai mana yang harus diganti dan nilai apa yang menjadi penggantinya. Namun demikian, hukum dan perubahan sosial masyarakat merupakan suatu keharusan dan sudah menjadi hukum alam yang sejalan dengan fitrah manusia itu sendiri sebagai subjek pemakai hukum.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.